Pages

ads

Friday 22 April 2016

Inilah 7 Tips Agar Tidur Jam Sembilan Malam Setiap Hari

"Tidur Malam" merupakan salah satu aktivitas wajib yang harus menjadi kebiasaan kita setiap hari. Dengan tidur malam yang cukup, maka dapat dipastikan semua aktivitas dan pekerjaan di pagi hari dapat dikerjakan dengan penuh semangat membara. Faktanya, gaya hidup modern telah merusak dan membuat jadwal tidur malam menjadi berantakan. Ini akan menjadi masalah serius bagi kesehatan tubuh dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lalu, adakah tips agar tidur lebih awal atau jam sembilan malam setiap harinya...???.
    Sahabat, tips kesehatan. Tidak sedikit dari kita yang memiliki masalah dengan kurangnya jam tidur malam tersebut. Keasyikkan begadang dengan teman, stres karena pekerjaan serta asyik bermain gadget (handphone dan laptop) menjadi beberapa penyebab kurangnya jam tidur malam. Kurang tidur di malam hari juga berdampak pada kesehatan seperti memperbesar resiko penyakit jantung, hipertensi, stroke serta diabetes. Oleh karena itulah, diperlukan langkah nyata untuk memperbaiki jadwal tidur malam anda. Berikut ini 7 tips agar tidur jam sembilan malam setiap hari :
  • Rilekskan. Dalam hal ini, anda harus merilekskan tubuh dan pikiran dengan menghentikan semua aktivitas maupun pekerjaan yang sedang dilakukan setengah jam sebelum memejamkan mata anda. Hal ini penting, karena dengan pikiran yang tenang dan tubuh yang rileks, aktivitas tidur malam jadi lebih mudah.
  • Matikan Gadget. Sebaiknya juga mulai menonaktifkan atau mematikan gadget (smartphone) yang anda miliki sebelum berangkat tidur. Kecenderungan untuk terus memainkan gadget kesayangan akan menjadikan rutinitas tidur malam menjadi terganggu.
  • Jauhkan Gadget. Jika anda tidak mau mematikan gadget (smartphone), maka sebaiknya menjauhkannya dari jangkauan tangan anda. Anda bisa meletakkanya di meja atau kursi yang jauh dari kasur tempat anda membaringkan tubuh untuk beristirahat di malam hari.
  • Matikan Televisi. Berbagai acara televisi sering melupakan kita dari jam tidur malam yang sudah direncanakan hingga rela begadang sampai larut malam. Maka, alangkah baiknya anda segera mematikan televisi dan mulai beranjak ke kamar tidur.
  • Rapikan. Sebelum merebahkan tubuh di kasur, anda juga sebaiknya merapikan dulu tempat tidur dengan mengibaskan sprei, selimut serta bantal. Untuk membuang atau membersihkan debu halus yang menempel di tempat-tempat tersebut.
  • Matikan Lampu. Mematikan lampu kamar tidur selain mampu meningkatkan kesehatan tubuh juga dapat membuat suasana kamar lebih tenang dan nyaman. Jika anda tidak suka suasana yang gelap gulita, gunakanlah lampu kamar yang redup atau tidak terlalu terang.
  • Penutup Mata. Jika anda sulit memejamkan mata, maka tidak ada salahnya menggunakan penutup mata. Hal ini bertujuan untuk mengirimkan rangsangan pada otak, bahwa tubuh dan pikiran sedang di istirahatkan dari berbagai aktivitas dan pekerjaan.

Monday 11 April 2016

Karena Ibu Akan Selalu Bersama Kita


Alkisah, ada seorang ibu muda yang menapakkan kakinya di jalan kehidupan. “Jauhkah perjalanannya?” tanyanya. Dan si pemandu menjawab, “Ya, jalurnya berat. Dan kau akan menjadi tua sebelum mencapai akhir perjalanan. Tapi akhir perjalanan akan lebih baik dari awalnya.”
Ibu muda itu tampak berbahagia, tapi dia tidak begitu percaya kalau segala sesuatunya bisa lebih baik dari masa-masa yang sudah dilewatinya. Ibu itu pun bermain-main dengan anak-anaknya, mengumpulkan bunga-bunga bagi mereka di sepanjang perjalanan, memandikan mereka di sungai yang jernih. Mereka bermandikan sinar matahari yang hangat. Ibu muda itu bersuara kencang, “Tidak ada yang lebih indah dari ini.”
Ketika malam tiba, terjadi badai yang membuat jalanan menjadi gelap. Anak-anak bergetar ketakutan dan kedinginan. Sang ibu mendekap anak-anak dan menyelimuti mereka dengan mantelnya. Anak-anak itu berkata, “Ibu, kami tidak takut karena engkau ada di dekat kami. Karena ada ibu, kami tidak akan terluka.”
Esok paginya, ibu dan anak-anaknya mendaki sebuah bukit. Lama-kelamaan mereka menjadi lelah. Namun, sang ibu selalu berkata pada anak-anaknya, “Sabarlah sedikit lagi, kita pasti akan sampai.” Kata-kata itu cukup membuat anak-anak bersemangat kembali untuk melanjutkan pendakian mereka. Dan ketika akhirnya tiba di atas bukit, anak-anak itu berkata, “Ibu, kami tidak akan bisa sampai di sini tanpamu.”
Dan ketika berbaring di malam hari, sang ibu memandangi bintang-bintang dan mengucap syukur, “Hari ini lebih baik dari hari sebelumnya, karena anak-anak saya belajar bersikap tabah dalam menghadapi kesusahan. Kemarin, saya memberi mereka keberanian. Hari ini, saya memberi mereka kekuatan.”
Dan keesokan harinya, datang awan tebal yang menggelapkan bumi, awan peperangan, kebencian dan kejahatan. Membuat anak-anak itu tersandung dan terjatuh, tapi sang ibu berusaha menguatkan mereka, “Lihatlah ke arah cahaya kemuliaan itu.” Anak-anak itu pun menuruti. Di atas awan terlihat cahaya yang bersinar sangat terang, dan cahaya itulah yang membimbing mereka melewati kegelapan itu. Malam itu berkatalah sang ibu, “Inilah hari yang terbaik. Karena saya sudah menunjukkan Tuhan pada anak-anak saya.”
Hari pun berlalu dengan cepat, lalu berganti dengan minggu, bulan, dan tahun. Sang ibu pun mulai menua dan tubuhnya menjadi membungkuk. Sementara, anak-anaknya bertumbuh besar dan kuat, serta berjalan dengan langkah berani. Ketika jalan yang mereka lalui terasa berat, anak-anak itu akan mengangkat ibu mereka. Pada akhirnya sampailah mereka di sebuah bukit. Di atas sana, mereka bisa melihat sebuah jalan yang bercahaya dan gerbang emas dengan pintu terbuka lebar. Sang ibu berkata, “Ini sudah akhir perjalanan. Dan sekarang saya tahu, akhir perjalanan ini memang lebih baik daripada awalnya karena anak-anak saya bisa berjalan sendiri, dan begitupun cucu-cucu saya.”
Dan anak-anaknya berkata, “Ibu akan selalu menyertai kami, sekalipun Ibu sudah pergi melewati gerbang itu.” Dan anak-anak itu melihat ibu mereka berjalan sendiri, lalu gerbang itu tertutup di belakangnya. Anak-anak itu berkata lagi, “Kami memang tidak melihatnya lagi, tapi Ibu tetap ada bersama kami. Seorang ibu seperti Ibu kami lebih dari sekadar memori. Dia selalu hidup di hati kami.”
"Sama seperti dalam kisah di atas, Ibu kita pun selalu bersama kita. Dia bagai suara desiran dedaunan saat kita berjalan menyusuri jalan. Ibu kita hadir di tengah canda tawa kita. Dia mengkristal di setiap airmata kita. Dialah tempat kita berasal, rumah kesayangan kita; dan dialah peta yang mengarahkan langkah yang kita ambil. Dialah cinta kita, dan tidak ada satu pun hal yang bisa memisahkan kita dengan ibu kita. Tidak juga waktu, atau tempat….ataupun kematian. Karena Ibu akan selalu bersama kita."
sumber  https://iphincow.com

Sunday 20 March 2016

PEJABAT MODERAT

Abu Ubaidah bin al-Jarrah sedang berada di sebuah wilayah daerah Antokia bersama pasukan perangnya. Sahabat kepercayaan Rasulullah saw ini bersyukur karena tempat itu begitu nyaman dan menyenangkan bagi pasukannya untuk beristirahat. Selain udaranya yang sejuk, tempat itu pun ditumbuhi pepohonan rindang. Suasana itu membuat pasukannya betah berlama-lama beristirahat di tempat tersebut. Sebagian mereka merebahkan tubuhnya, menikmati semilir angin yang berhembus.

Melihat kondisi itu, Abu Ubaidah bin al-Jarrah tiba-tiba merasa gelisah. Sesuai rencana ia memang ditempatkan di daerah subur itu oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Di satu sisi ia bersyukur dengan kondisi alamnya yang demikian nyaman. Namun di sisi lain, ia tak mau terlena. Ia takut tergelincir dalam kemewahan hidup dan melalaikannya dari perjuangan. Abu Ubaidah bermaksud menebangi pohon-pohon di daerah itu. Sepucuk surat ia layangkan ke Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah.

Surat itu pun segera dibalas oleh Umar seraya berkata, “Allah tidak mengharamkan semua yang baik bagi orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan. Bacalah surah al-Mukminun ayat 51 yang berbunyi, “Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Umar lalu melanjutkan nasihatnya, “Seharusnya Anda memberikan kesempatan kepada pasukan untuk beristirahat di daerah yang sejuk serta memberi makan yang cukup agar mereka terbebas dari kecapekan karena memerangi kaum kafir.”

Kisah yang disajikan ulang oleh Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Abqariyatu Umar-nya ini menampakkan sisi lain dari kezuhudan Umar bin Khaththab. Kalau dalam banyak riwayat kita menjumpai anjuran Umar agar kaum Muslimin hidup sederhana dan “menghindari” kehidupan mewah, maka pada kisah ini kita menemukan sisi berbeda. Umar memerintahkan agar Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan pasukannya menikmati keindahan alam Antokia yang begitu menyenangkan.

Ini tentu saja bukan sikap tidak konsisten Umar. Pada kisah ini, Umar tidak berbuat untuk dirinya tapi buat orang lain. Lagi pula, apa yang dianjurkan Umar merupakan hal yang amat wajar dan dibenarkan syariat. Adapun terhadap hal yang menyimpang, Umar sangat tegas.

Pada kesempatan lain, sebagian kaum Muslimin banyak yang melaksanakan shalat di bawah Pohon Ridhwan. Yaitu, tempat dimana Rasulullah saw dan para sahabatnya melaksanakan Baitur Ridhwan. Melihat hal itu, Umar segera memerintahkan untuk menebang pohon tersebut meski sebagian sahabat Nabi saw lainnya tidak setuju. Umar sangat khawatir, kalau hal itu dibiarkan bisa membawa perilaku syirik.

Ini fragmen kisah yang berbeda. Umar benar-benar mengetahui perbedaan keduanya dan bagaimana mengatasinya. Sikap ini penting diteladani khususnya oleh para pejabat. Mereka harus bisa membedakan, mana yang halal dan haram. Mana zuhud dan mana miskin.
Umar amat membenci kemiskinan tapi pada saat yang sama dia begitu zuhud. Pada saat bersamaan, ia juga mempersilakan orang lain untuk menikmati kesenangan sewajarnya.

Terdapat perbedaan yang jauh antara sikap hidup zuhud dengan miskin. Allah dan Rasul-Nya amat membenci hidup miskin, tapi menganjurkan hidup zuhud. Orang-orang yang hidup zuhud adalah mereka yang secara wajar mampu menikmati kemewahan, tapi ia menghindar. Ia tidak mau mengambil kenikmatan itu dan hanya menikmati yang sedikit saja. Sekadarnya. Tidak berlebihan.

Sedangkan miskin adalah orang yang hidup susah dan tidak punya apa-apa. Umar bin Khaththab dan para sahabat Rasulullah saw adalah mereka yang hidup zuhud, bukan miskin. Sebab, kalau mereka mau, istana Persia sudah berada dalam genggaman. Kekuasaan Islam saat itu sudah melebarkan sayapnya ke segenap penjuru dengan segala kemewahannya.

Itu juga yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Bani Umayyah ini hidup zuhud dan bukan miskin. Kalau mau, Umar bin Abdul Aziz bisa mendapatkan segala kemewahan yang ia inginkan. Saat itu, ia menjabat khalifah.

Para pejabat dituntut supaya bisa membedakan mana haknya dan mana hak rakyat. Hudzaifah Ibnul Yaman pernah “menggerutu” karena Umar hanya menyajikan makanan berupa roti kering dan minyak. Padahal saat itu di dapur umum sedang dimasak makan enak. Umar menjawab, “Engkau kupanggil untuk menikmati makananku. Sedangkan yang ada di dapur umum itu bukan milikku, tapi kepunyaan kaum Muslimin.”

Bagi Umar, pejabat negara sama saja dengan rakyat jelata. Mereka harus menjadi teladan bagi rakyatnya, hidup sederhana dan wajar sebagaimana masyarakat kebanyakan. Umat tidak ingin melihat para pejabat negara, baik yang berada di pusat maupun daerah, hidup berfoya-foya sedangkan rakyatnya menderita.

Namun Umar juga tidak menyukai para pejabatnya hidup terlalu sederhana sehingga muncul kesan tidak wajar. Umar pernah menegur salah seorang pejabatnya di Yaman karena mengenakan pakaian mewah dan wewangian berlebihan. Setahun kemudian Gubernur Yaman itu datang dengan pakaian compang-camping. Umar langsung menegurnya, “Aku tidak mengharapmu seperti ini. Demikian juga sebaliknya, aku tidak menyukaimu hidup berlebihan. Aku mengharapkan gubernurku, hidup secara wajar, tidak hidup penuh kenistaan tapi tidak juga bermegah-megahan. Kalian boleh makan, minum, dan mengenakan mewangian. Dalam tugas kalian nanti, kalian akan mengetahui apa yang aku benci.”

Umar memberikan keteladanan luar biasa kepada para pejabat bagaimana menghadapi kemewahan dunia. Para pejabat harus mampu hidup moderat, pertengahan. Ia hidup tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan.

Sikap hidup seperti ini perlu dilakukan karena pejabat adalah cermin bagi rakyatnya. Diinginkan atau tidak, ia akan menjadi sorotan pubik. Kalau kehidupan para pejabatnya foya-foya, akan muncul dua kemungkinan: ia akan dibenci rakyatnya atau rakyat akan mengikuti sikap hidupnya. Keduanya sama-sama tidak baik.

Sebaliknya, jika para pejabat hidup ternista, akan muncul juga dua kemungkinan: rakyat akan menghinakannya atau mengikutinya hidup ternista. Keduanya tidak ada yang baik. Maka, sikap hidup moderat dan sewajarnya adalah pilhan tepat.

Pada haji terakhir yang dia laksanakan sebelum wafat, Umar mengajarkan kita sebuah doa: Allahumma laa tuktsir lii minad dunya fa athgha, wa laa tuqlil lii minha fa ansaa (Ya Allah, janganlah engkau perbanyak bagiku duniaku sehingga membuatku melampaui batas. Tapi jangan juga Engkau persedikit duniaku sehingga membuatku lupa).
by http://www.kisahinspirasi.com

KISAH KAKEK DAN PENCURI PEPAYA

Saya ingin mengawali renungan kita kali ini dengan mengingatkan pada salah satu kisah kehidupan yang mungkin banyak tercecer di depan mata kita. Cerita ini tentang seorang kakek yang sederhana, hidup sebagai orang kampung yang bersahaja. Suatu sore, ia mendapati pohon pepaya di depan rumahnya telah berbuah. Walaupun hanya dua buah namun telah menguning dan siap dipanen. Ia berencana memetik buah itu di keesokan hari. Namun, tatkala pagi tiba, ia mendapati satu buah pepayanya hilang dicuri orang.


kisah inspirasi kakek dan pencuri pepaya
Kakek itu begitu bersedih, hingga istrinya merasa heran. “masak hanya karena sebuah pepaya saja engkau demikian murung” ujar sang istri.

“bukan itu yang aku sedihkan” jawab sang kakek, “aku kepikiran, betapa sulitnya orang itu mengambil pepaya kita. Ia harus sembunyi-sembunyi di tengah malam agar tidak ketahuan orang. Belum lagi mesti memanjatnya dengan susah payah untuk bisa memetiknya..”

“dari itu Bune” lanjut sang kakek, “saya akan pinjam tangga dan saya taruh di bawah pohon pepaya kita, mudah-mudahan ia datang kembali malam ini dan tidak akan kesulitan lagi mengambil yang satunya”.
Namun saat pagi kembali hadir, ia mendapati pepaya yang tinggal sebuah itu tetap ada beserta tangganya tanpa bergeser sedikitpun. Ia mencoba bersabar, dan berharap pencuri itu akan muncul lagi di malam ini. Namun di pagi berikutnya, tetap saja buah pepaya itu masih di tempatnya.

Di sore harinya, sang kakek kedatangan seorang tamu yang menenteng duah buah pepaya besar di tangannya. Ia belum pernah mengenal si tamu tersebut. Singkat cerita, setelah berbincang lama, saat hendak pamitan tamu itu dengan amat menyesal mengaku bahwa ialah yang telah mencuri pepayanya.

“Sebenarnya” kata sang tamu, “di malam berikutnya saya ingin mencuri buah pepaya yang tersisa. Namun saat saya menemukan ada tangga di sana, saya tersadarkan dan sejak itu saya bertekad untuk tidak mencuri lagi. Untuk itu, saya kembalikan pepaya Anda dan untuk menebus kesalahan saya, saya hadiahkan pepaya yang baru saya beli di pasar untuk Anda”.

Hikmah yang bisa diambil dari kisah inspirasi diatas, adalah tentang keikhlasan, kesabaran, kebajikan dan cara pandang positif terhadap kehidupan.

Mampukah kita tetap bersikap positif saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai dengan ikhlas mencari sisi baiknya serta melupakan sakitnya suatu “musibah”?

"Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta."
by  http://www.kisahinspirasi.com

10 RIBU RUPIAH MEMBUAT ANDA MENGERTI CARA BERSYUKUR

Ada seorang sahabat menuturkan kisahnya. Dia bernama Budiman. Sore itu ia menemani istri dan seorang putrinya berbelanja kebutuhan rumah tangga bulanan di sebuah toko swalayan. Usai membayar, tangan-tangan mereka sarat dengan tas plastik belanjaan.
Baru saja mereka keluar dari toko swalayan, istri Budiman dihampiri seorang wanita pengemis yang saat itu bersama seorang putri kecilnya. Wanita pengemis itu berkata kepada istri Budiman, "Beri kami sedekah, Bu!"

Istri Budiman kemudian membuka dompetnya lalu ia menyodorkan selembar uang kertas berjumlah 1000 rupiah. Wanita pengemis itu lalu menerimanya. Tatkala tahu jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan, ia lalu menguncupkan jari-jarinya mengarah ke mulutnya. Kemudian pengemis itu memegang kepala anaknya dan sekali lagi ia mengarahkan jari-jari yang terkuncup itu ke mulutnya, seolah ia ingin berkata, "Aku dan anakku ini sudah berhari-hari tidak makan, tolong beri kami
tambahan sedekah untuk bisa membeli makanan!"

Mendapati isyarat pengemis wanita itu, istri Budiman pun membalas isyarat dengan gerak tangannya seolah berkata, "Tidak... tidak, aku tidak akan menambahkan sedekah untukmu!"
Ironisnya meski tidak menambahkan sedekahnya, istri dan putrinya Budiman malah menuju ke sebuah gerobak gorengan untuk membeli cemilan. Pada kesempatan yang sama Budiman berjalan ke arah ATM center guna mengecek saldo rekeningnya. Saat itu memang tanggal gajian, karenanya Budiman ingin mengecek saldo rekening dia.


kisah inspirasi
Di depan ATM, Ia masukkan kartu ke dalam mesin. Ia tekan langsung tombol INFORMASI SALDO. Sesaat kemudian muncul beberapa digit angka yang membuat Budiman menyunggingkan senyum kecil dari mulutnya. Ya, uang gajiannya sudah masuk ke dalam rekening.
Budiman menarik sejumlah uang dalam bilangan jutaan rupiah dari ATM. Pecahan ratusan ribu berwarna merah kini sudah menyesaki dompetnya. Lalu ada satu lembar uang berwarna merah juga, namun kali ini bernilai 10 ribu yang ia tarik dari dompet. Uang itu Kemudian ia lipat kecil untuk berbagi dengan wanita pengemis yang tadi meminta tambahan sedekah.

Saat sang wanita pengemis melihat nilai uang yang diterima, betapa girangnya dia. Ia pun berucap syukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Budiman dengan kalimat-kalimat penuh kesungguhan: "Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah... Terima kasih tuan! Semoga Allah memberikan rezeki berlipat untuk tuan dan keluarga. Semoga Allah memberi kebahagiaan lahir dan batin untuk tuan dan keluarga. Diberikan karunia keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Rumah tangga harmonis dan anak-anak yang shaleh dan shalehah. Semoga tuan dan keluarga juga diberi kedudukan yang terhormat kelak nanti di surga...!"

Budiman tidak menyangka ia akan mendengar respon yang begitu mengharukan. Budiman mengira bahwa pengemis tadi hanya akan berucap terima kasih saja. Namun, apa yang diucapkan oleh wanita pengemis tadi sungguh membuat Budiman terpukau dan membisu. Apalagi tatkala sekali lagi ia dengar wanita itu berkata kepada putri kecilnya, "Dik, Alhamdulillah akhirnya kita bisa makan juga....!"
Deggg...!!! Hati Budiman tergedor dengan begitu kencang. Rupanya wanita tadi sungguh berharap tambahan sedekah agar ia dan putrinya bisa makan. Sejurus kemudian mata Budiman membuntuti kepergian mereka berdua yang berlari menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah warung tegal untuk makan di sana.

Budiman masih terdiam dan terpana di tempat itu. Hingga istri dan putrinya kembali lagi dan keduanya menyapa Budiman. Mata Budiman kini mulai berkaca-kaca dan istrinya pun mengetahui itu. "Ada apa Pak?" Istrinya bertanya.

Dengan suara yang agak berat dan terbata Budiman menjelaskan: "Aku baru saja menambahkan sedekah kepada wanita tadi sebanyak 10 ribu rupiah!"

Awalnya istri Budiman hampir tidak setuju tatkala Budiman mengatakan bahwa ia memberi tambahan sedekah kepada wanita pengemis. Namun Budiman kemudian melanjutkan kalimatnya:
"Bu..., aku memberi sedekah kepadanya sebanyak itu. Saat menerimanya, ia berucap hamdalah berkali-kali seraya bersyukur kepada Allah. Tidak itu saja, ia mendoakan aku, mendoakan dirimu, anak-anak dan keluarga kita. Panjaaaang sekali ia berdoa!

Dia hanya menerima karunia dari Allah Swt sebesar 10 ribu saja sudah sedemikian hebatnya bersyukur. Padahal aku sebelumnya melihat di ATM saat aku mengecek saldo dan ternyata di sana ada jumlah yang mungkin ratusan bahkan ribuan kali lipat dari 10 ribu rupiah. Saat melihat saldo itu, aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Aku terlupa bersyukur, dan aku lupa berucap hamdalah.

Bu..., aku malu kepada Allah! Dia terima hanya 10 ribu begitu bersyukurnya dia kepada Allah dan berterimakasih kepadaku. Kalau memang demikian, siapakah yang pantas masuk ke dalam surga Allah, apakah dia yang menerima 10 ribu dengan syukur yang luar biasa, ataukah aku yang menerima jumlah lebih banyak dari itu namun sedikitpun aku tak berucap hamdalah."

Budiman mengakhiri kalimatnya dengan suara yang terbata-bata dan beberapa bulir air mata yang menetes. Istrinya pun menjadi lemas setelah menyadari betapa selama ini kurang bersyukur sebagai hamba. Ya Allah, ampunilah kami para hamba-Mu yang kerap lalai atas segala nikmat-Mu
by http://www.kisahinspirasi.com

BERAT SEGELAS AIR

Saat Stephen R. Covey mengajar tentang Manajemen Stress, dia bertanya kepada para peserta kuliah,

“Menurut anda, kira-kira berapa berat segelas air ini?” Jawaban para peserta sangat beragam, mulai dari 200 gram sampai 500 gram.



“Sesungguhnya yang menjadi masalah bukanlah berat absolutnya. Tetapi berapa lama anda memegangnya,” ungkap Covey.

“Jika saya memegangnya selama satu menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama satu jam, lengan kanan saya akan sakit. Jika saya memegangnya selama satu hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya,” lanjutnya.

“Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat. Jika kita membawa beban terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu terasa meningkat beratnya,” ungkap Covey.

”Yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut. Istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi. Kita harus meninggalkan beban kita, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi. Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sehari-hari, tinggalkan beban pekerjaan anda. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok,” lanjutnya.

“Apapun beban yang ada di pundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak. Setelah beristirahat, nanti dapat diambil lagi. Hidup ini sangat singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya. Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di dalam hati kita,” kata Covey.
by http://www.kisahinspirasi.com

REJEKI BANYAK BENTUKNYA

Kemarin hujan mulai jam 9 pagi, seorang tukang rujak numpang berteduh di teras ruko saya.
Masih penuh gerobaknya, buah-buah tertata rapi. Kulihat beliau membuka buku kecil, rupanya Al Quran. Beliau tekun dengan Al-Qurannya. Sampai jam 10 hujan blm berhenti.
Saya mulai risau karena sepi tak ada pembeli datang.
Saya keluar memberikan air minum.
“Kalau musim hujan jualannya repot juga ya, Pak… ” .. “Mana masih banyak banget.”
Beliau tersenyum, “Iya bu.. Mudah-mudahan ada rejekinya.. .” jawabnya.
“Aamiin,” kataku.
“Kalau gak abis gimana, Pak?”. tanyaku.
“Kalau gak abis ya risiko, Bu.., kayak semangka, melon yang udah kebuka ya kasih ke tetangga, mereka juga seneng daripada kebuang. kayak bengkoang, jambu, mangga yang masih bagus bisa disimpan. Mudah-mudahan aja dapet nilai sedekah,” katanya tersenyum.
“Kalau hujan terus sampai sore gimana, Pak?” tanyaku lagi.
“Alhamdulillah bu… Berarti rejeki saya hari ini diizinkan banyak berdoa. Kan kalau hujan waktu mustajab buat berdoa bu…” Katanya sambil tersenyum.
“Dikasih kesempatan berdoa juga rejeki, Bu…”
“kalau gak dapet uang gimana, Pak?” tanyaku lagi.
“Berarti rejeki saya bersabar, Bu… Allah yang ngatur rejeki, Bu… Saya bergantung sama Allah.. Apa aja bentuk rejeki yang Allah kasih ya saya syukuri aja. Tapi Alhamdulillah, saya jualan rujak belum pernah kelaparan.
“Pernah gak dapat uang sama sekali, tau tau tetangga ngirimin makanan. Kita hidup cari apa Bu, yang penting bisa makan biar ada tenaga buat ibadah dan usaha,” katanya lagi sambil memasukan Alqurannya ke kotak di gerobak.
“Mumpung hujannya rintik, Bu… Saya bisa jalan ..Makasih yaa ,Bu…”
Saya terpana… Betapa malunya saya, dipenuhi rasa gelisah ketika hujan datang, begitu khawatirnya rejeki materi tak didapat sampai mengabaikan nikmat yang ada di depan mata.
Saya jadi sadar bahwa rizki hidayah, dapat beribadah, dapat bersyukur dan bersabar adalah jauh…jauh lebih berharga daripada uang, harta dan jabatan…
***
MANUSIA dan BOTOL
1. Kalau diisi air mineral, harganya 3ribu…
2. Kalau diisi jus buah, harganya 10ribu…
3. Kalau diisi Madu Yaman, harganya Ratusanribu…
4. Kalau diisi minyak wangi chanel harganya bisa jutaan.
5. Kalau diisi air got, hanya akan dibuang dalam tong sampah karena langsung tiada harganya dan tidak ada siapa yg suka.
Botol yg sama tetapi harganya berbeda sebab apa yang terisi di dalamnya adalah berbeda…
Begitu juga kita…kita semua sama…kita semua manusia…yang membedakan kita antara satu sama lainnya adalah. TAQWA , IMAN & AMAL yang ada dalam diri kita…yang akan menyebabkan kita berharga di sisi ALLAH atau kita dipandang hina oleh ALLAH lalu dibuang ke dalam neraka…
“……sesungguhnya orang yg paling mulia disisi Allah adalah orang yg paling bertakwa,sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha teliti”

Thursday 17 March 2016

SEBUAH BATU KECIL

Di suatu daerah pegunungan, sesosok pemuda sedang mempersiapkan bekal untuk perjalanan ke desa lain. Desa itu cukup jauh, harus melawati hutan-hutan dan gua. Pemuda itu hanya mampu membawa bekal untuk sekali perjalanan.
Saat pemuda itu memulai perjalanan, ia bertemu pengemis tua dengan pakaian penuh robek dan kumuh. Karena pemuda itu hanya mempunyai bekal secukupnya, dia pura-pura tidak melihat pegemis tua tersebut, dan berjalan melewatinya.
Tiba-tiba sang pengemis tua itu berkata, “Hai pemuda, ketika engkau melawati sebuah gua, ambil batu disekitarmu sebanyak-banyaknya!”
Pemuda itu cukup kaget, akan tetapi dia tetap tidak memperhatikannya, “alah, dasar pengemis, mau minta perhatian saja, paling dia mau minta sedekah.” Pikirnya.
Perjalanan pemuda itu dilanjutkan hingga hari sudah mulai malam. Ia pun harus mempercepat perjalanannya, karena dia harus melewati sebuah gua yang sangat gelap.
Ketika masuk ke dalam gua, ia teringat akan pesan pengemis tua. “ah, ngapain saya menuruti kata-kata pengemis tua itu!, lagipula ngapain saya harus membawa batu-batu di gua ini, menambah beban saya aja, mungkin pengemis itu sudah gila kali” keluhnya. Pemuda itu berjalan sambil meraba-raba karena gelapnya gua itu.
Sesaat kemudian di berfikir kembali, “Mungkin ada benarnya kata pengemis tua itu…” ia mulai penasaran dengan pesan pengemis tadi. Pemuda itupun mengambil sebuah batu kecil dan dimasukan ke saku celana.
Perjalanan panjang telah ia lalui, setelah melewati gua, ia mengarungi lembah, melewati gunung, hingga ta terasa bekal habis. Ia memaksa berjalan, walau perut kelaparan.
Akhirnya ia sampai juga di desa tujuannya, dan langsung ambruk tertidur di bawah sebuah pohon. Ia tertidur pulas. Tak lama kemudian, disaat berganti posisi, ia bangun, terasa ada yang mengganjal di celananya. “Ah, dasar bodohnya aku ini, aku membawa kemana-mana batu kecil tak berguna ini, menuruti kata-kata pengemis gila itu! Ku buang aja!” katanya dengan kesal.
Ketika akan membuang batu itu, terlihat batu itu berkilauan, memantulkan cahaya. Mata pemuda itu langsung terbelalak. “hah….., batu ini emas!” matanya melototi batu yang dipegangnya.
“ah…., andaikan saja……”

Saturday 5 March 2016

The One Year Book of Inspiration for Girlfriends: Juggling Not-So-Perfect, Often-Crazy, but Gloriously Real Lives (One Year Books)

http://www.amazon.com/gp/product/141431938X/ref=as_li_tl?ie=UTF8&camp=1789&creative=9325&creativeASIN=141431938X&linkCode=as2&tag=is065f-20&linkId=5JUS45ZN4TG6N35S

 If you’re living a perfect, charmed life . . . well, then this book isn’t going to be for you. But if, like the rest of us, you are at times broken, confused, lonely, or scared―if you’re struggling with problems that you think “good Christians” don’t have―then welcome, girlfriend, and pull up a chair! This quirky, friendly, and gut-honest devotional comes straight from the heart of Ellen Miller (CEO, marketing executive, mom, and unapologetic “glorious mess”). Despite the serious struggles she’s faced, Ellen today lives a life of profound joy, and The One Year Book of Inspiration contains 365 days worth of the principles and philosophies that have gotten her there. You’ll find there’s no subject she’s afraid to tackle! Her quick, daily doses of encouragement will make you laugh, give you something to look forward to each day, help you to stay (somewhat!) sane … and remind you that you’re never alone.

Product Details

Gratitude Hardcover

http://www.amazon.com/Gratitude-Oliver-Sacks/dp/0451492935/ref=as_li_ss_tl?ie=UTF8&refRID=17DW5MBMTJATTXBDDYAP&linkCode=ll1&tag=is065f-20&linkId=24da1c7d5f503d86f321636ab4baa893

Product Details

  • Hardcover: 64 pages
  • Publisher: Knopf; 1 edition (November 24, 2015)
  • Language: English
  • ISBN-10: 0451492935
  • ISBN-13: 978-0451492937
  • Product Dimensions: 5 x 0.5 x 7.2 inches
  • Shipping Weight: 1.6 pounds (View shipping rates and policies)
  • Average Customer Review: 4.1 out of 5 stars  See all reviews (105 customer reviews)
  • Amazon Best Sellers Rank: #661 in Books (See Top 100 in Books)  

    Editorial Reviews

    Review

    “A series of heart-rending yet ultimately uplifting essays….A lasting gift to readers….unlike other writers who have reported from the front lines of mortality, Sacks did not focus on his illness, his medical ordeal or spirituality, but on “what is meant by living a good and worthwhile life—achieving a sense of peace within oneself. Sacks not only achieved that peace but managed to convey it beautifully in these essays. He found positive ways to think about everything, including his growing frailty: Perhaps, he suggests in the book’s final pages, he was in the Sabbath of his life, “when one can feel that one’s work is done, and one may, in good conscience, rest.” His tender book leaves readers with a similar sense of tranquility and, indeed, gratitude.” —Heller McAlpin, Washington Post
                                    
    “Elegant….a lovely slim volume.” —Melissa Dahl, New York Magazine
    “Powerful….The book chronicles the famous author’s thoughts, wishes, regrets, and, above all, feelings of love, happiness, and gratitude even as he faced the cancer that ended his life last year at 82….the material offers incisive, poignant observations….A perfect gift for thoughtful readers, and a title that belongs in science and biography collections.” Library Journal, *starred review*
     

    “The neurologist and author died of cancer in August. Between 2013 and 2015, he wrote four moving essays, published in The New York Times, reflecting on his life and facing mortality. They are collected in this slim volume, a coda to Sacks’ remarkable career.” —Tom Beer, Newsday
     
    “A book defined by celebration, not sadness.” —Danny Heitman, The Advocate
     
    “This is a worthy little chapbook for the lovers of Oliver Sacks.” Edith Cody-Rice,  The Millstone
     
    “The volume is tiny—short enough to read easily in one sitting—but it’s huge in heart. Oliver Sack’s just-published book  “Gratitude,” consists of four essays the famous neurologist and chronicler of  human quirks wrote in the months before his death of cancer this summer at 82. It is, in effect, a mini-memoir, a beautiful meditation on what it means to live a good life.” —Sydney Trent, Washington Post
     
    “In these four graceful essays written in the two years before he died, Oliver Sacks looks at life, old age — and death, square in the eye….First published individually in the New York Times, together these pieces form a wise and profound quartet.” —Laurie Hertzel, Minneapolis Star-Tribune
     
    Gratitude is a bittersweet and absolutely beautiful read in its entirety.” —Maria Popova, Brainpickings.org

    About the Author

    OLIVER SACKS was born in 1933 in London and was educated at Queen’s College, Oxford. He completed his medical training at San Francisco’s Mount Zion Hospital and at UCLA before moving to New York, where he soon encountered the patients whom he would write about in his book Awakenings.

    Dr. Sacks spent almost fifty years working as a neurologist and wrote many books, including The Man Who Mistook His Wife for a HatMusicophilia, and Hallucinations, about the strange neurological predicaments and conditions of his patients. The New York Times referred to him as "the poet laureate of medicine," and over the years he received many awards, including honors from the Guggenheim Foundation, the National Science Foundation, the American Academy of Arts and Letters, and the Royal College of Physicians. His memoir, On the Move, was published shortly before his death in August 2015.

    For more information, please visit www.oliversacks.com. 
          CLICK HERE TO BUY

When Breath Becomes Air Hardcover – Deckle Edge, January 12, 2016

<a href="http://www.amazon.com/When-Breath-Becomes-Paul-Kalanithi/dp/081298840X/ref=as_li_ss_il?s=books&ie=UTF8&qid=1457230452&sr=1-1&keywords=best+seller&linkCode=li2&tag=is065f-20&linkId=60f20833a8b060384206683577987e38" target="_blank"><img border="0" src="//ws-na.amazon-adsystem.com/widgets/q?_encoding=UTF8&ASIN=081298840X&Format=_SL160_&ID=AsinImage&MarketPlace=US&ServiceVersion=20070822&WS=1&tag=is065f-20" ></a><img src="//ir-na.amazon-adsystem.com/e/ir?t=is065f-20&l=li2&o=1&a=081298840X" width="1" height="1" border="0" alt="" style="border:none !important; margin:0px !important;" />

Product Details

#1 NEW YORK TIMES BESTSELLER • For readers of Atul Gawande, Andrew Solomon, and Anne Lamott, a profoundly moving, exquisitely observed memoir by a young neurosurgeon faced with a terminal cancer diagnosis who attempts to answer the question What makes a life worth living?

At the age of thirty-six, on the verge of completing a decade’s worth of training as a neurosurgeon, Paul Kalanithi was diagnosed with stage IV lung cancer. One day he was a doctor treating the dying, and the next he was a patient struggling to live. And just like that, the future he and his wife had imagined evaporated. When Breath Becomes Air chronicles Kalanithi’s transformation from a naïve medical student “possessed,” as he wrote, “by the question of what, given that all organisms die, makes a virtuous and meaningful life” into a neurosurgeon at Stanford working in the brain, the most critical place for human identity, and finally into a patient and new father confronting his own mortality.

What makes life worth living in the face of death? What do you do when the future, no longer a ladder toward your goals in life, flattens out into a perpetual present? What does it mean to have a child, to nurture a new life as another fades away? These are some of the questions Kalanithi wrestles with in this profoundly moving, exquisitely observed memoir.

Paul Kalanithi died in March 2015, while working on this book, yet his words live on as a guide and a gift to us all. “I began to realize that coming face to face with my own mortality, in a sense, had changed nothing and everything,” he wrote. “Seven words from Samuel Beckett began to repeat in my head: ‘I can’t go on. I’ll go on.’” When Breath Becomes Air is an unforgettable, life-affirming reflection on the challenge of facing death and on the relationship between doctor and patient, from a brilliant writer who became both.

Praise for When Breath Becomes Air

“I guarantee that finishing this book and then forgetting about it is simply not an option. . . . Part of this book’s tremendous impact comes from the obvious fact that its author was such a brilliant polymath. And part comes from the way he conveys what happened to him—passionately working and striving, deferring gratification, waiting to live, learning to die—so well. None of it is maudlin. Nothing is exaggerated. As he wrote to a friend: ‘It’s just tragic enough and just imaginable enough.’ And just important enough to be unmissable.”—Janet Maslin, The New York Times

“An emotional investment well worth making: a moving and thoughtful memoir of family, medicine and literature. It is, despite its grim undertone, accidentally inspiring.”The Washington Post

“Possesses the gravity and wisdom of an ancient Greek tragedy . . . [Kalanithi] delivers his chronicle in austere, beautiful prose. The book brims with insightful reflections on mortality that are especially poignant coming from a trained physician familiar with what lies ahead.”The Boston Globe

“Devastating and spectacular . . . [Kalanithi] is so likeable, so relatable, and so humble, that you become immersed in his world and forget where it’s all heading.”USA Today

“It’s [Kalanithi’s] unsentimental approach that makes When Breath Becomes Air so original—and so devastating. . . . Its only fault is that the book, like his life, ends much too early.”Entertainment Weekly

“[When Breath Becomes Air] split my head open with its beauty.”—Cheryl Strayed

Sunday 28 February 2016

SPECK STORY BEHIND EVERY LIGHT IN DIFFICULTY

One upon a time, there was a fairly well known for his intelligence in helping people cope with the problem. Although he was already quite old, but the outstanding broad discretion. Because of that, people flocked to see him in the hope that their problems can be solved.Every day, there are people who come to see him. They are expecting an answer that would be a solution to the problems that they face. And incredibly, the average of them are satisfied with the answer given. Not surprisingly, his skill in overcoming the problem makes him so famous.One day, a young man overheard people around who told me about the old man. He became curious and tried to find out his whereabouts. He also wanted to meet him. There is something that is being jammed in his heart and he still does not get an answer. He hopes to get answers from the old man.Having managed to get the location of the old man's residence, he rushed to get there. The place of residence of the parent from the outside looks very spacious like a palace.Upon entry into the house, he finally met with the wise old man. He asked, "Are you a famous person who often talked about people able to overcome the problem?"The old man replied humbly, "Ah, people are exaggerating. I just try my best to help them. Can I help you, young man? If it is possible, I will help you with pleasure.""Simple. I just want to know what the secret of a happy life? Until now I still have not found the answer. If you are able to give a satisfactory answer, I will salute and two thumbs up to you and tell your greatness in people," countered the young man.The old man said, "I can not answer right now."The young man frowned, said, "Why? Do you also do not know the answer?""Not can not. I got something suddenly," replied the old man. After thinking a moment, he continued, "Look, you wait a minute."The old man went into another room to get something. A moment later, he came back with a spoon and a bottle of ink. Pouring ink onto a spoon, he said, "I have some business to be completed. Not long, just half an hour. While waiting, I want you to walk and see the beauty of the house and the yard outside while carrying this scoop.""What for?" he asked curiously."I do not ask any questions. Just do it. I'll be back in half an hour," the old man said as he handed the spoon to the young man and then leave.Half an hour passed, and the wise old man went back and went to see him.He asked the boy, "You've been around the whole house and the yard outside?"The young man nodded his head and said, "Done."The old man continued to ask, "So, what did you see? Please tell me."The young man was silent without answering.The old man asked again, "Why silent? The house and yard are so widespread, many of which can be seen. What have you seen?"The young man began, "I do not see anything. If any view, it is only for a moment. I can not remember fully.""How did it happen?" the old man asked.The boy shyly replied, "Because when walking, I continued to watch this spoon, fear ink fall and contaminate your home."With a smile, an old wise man exclaimed, "Well, that's the answer you are looking around for this long. You have to sacrifice the beauty of the house should you can enjoy just for watching spoon filled with this ink. Constantly worrying this ink, you do not get to see house and yard were so beautiful. the house is there are so many statues, carvings, paintings, decorations and ornaments are gorgeous. so is the home page decorated with flowers colorful blooming flowers. You can not see it because you continue to see this scoop.He continued, "If you always see the ugliness behind a pile of beauty, your life will be filled with pain and misery. Conversely, if you are always able to see the beauty behind a pile of ugliness, then your life will be more beautiful. That is the secret of happiness. Are now understand, young man? "The young man was really applaud the wisdom of the old man. He was well satisfied with his answer. Eventually he found the answer he'd been seeking. Before leaving, he kept his promise to salute and two thumbs up to the old man.REFLECTION: In this life, it is good we do not plunge ourselves into a slump. There is always a positive thing that we can take. Do not sacrifice the beauty of life only to see the bad side. Be those who always see a speck of light in the dark.

4 stories of animals

In a ship there are 4 animals that accompany a captain. The animal is a chicken, elephants, tigers and mice. A fourth day the animals were gathered and told their greatness.Chicken said: "I always give eggs to captain us. Thanks to me, she can eat delicious and nutritious."Elephants did not want to lose "I'm strong, I'm always helping our captain to lift heavy items."Tiger menimbrung "If I'm famous and powerful can always win every battle, I always protect our captain of a pirate attack and the bad guys".Only rats were silent. All three other animals looked at him and said, "Rats what your function here, only you do not have a function in place .hahahaha". They mock the rat.One day the ship was stumble on a rock bulge and leak. Fourth animals and the captain feared. They do not know what they would do because of the location of the leak is in a hidden place so tidk be found. Mice thought for a moment and then said: "Friends maybe it's time I can be useful for you." Then the mice began to move. With a tiny body and the oval that he was so easily fit into the gaps between the wood to find the source of the leak. Finally, the ship could be saved.The captain said: "Thank God you're a mouse, otherwise we might get hurt". His three friends was down embarrassed because they have mocked the rat.So the Lord give us all the talents of each. No fools there are only people who are not aware of the talent the Lord gave us. Do not mock and despise each other, but let complementary to a better life.

LOVE OR MONEY

  Love or money. Two things happen in people's lives and sometimes we get stuck having to choose one of the most interesting, which we choose ???  You choose which one LOVE or MONEY, even if you want to say LOVE money.We will discuss our understanding of money on the side as an economic gills. As our economy must finance gills life.  Do you reject the transaction - a transaction with money or not, you should still redeem something to get something you want. The capacity to exchange something, to gain the ability to finance life, it is not everyone managed to build and that the cause of the turmoil. Because of the low ability to finance private life when people plan to expand itself by marriage, newly arising problems - problems relating Money and Love with Money and honey.  "There is a story about a father working from morning till night, until the morning again did not meet with the children. And her first child about 6 years old and asked," Dad, dad worked in pay how much? His father replied, "I paid 300,000 / hour" Then I can borrow 150,000. You work hard to earn money, why did you borrow 150,000. Then he went back to the room and asked his father, and a pick-up pillow, no money 150,000 dad, this is my savings for pocket money. Well, if I borrow 150,000 from the father, so my money 300,000. Well, I pay father 1 hour to mess with me "  Sometimes we forget we work for children, in working for children, we neglect the child, whereas the growth of the most memorable for children is most often seen. "A lot of people who make money as the goal of life, that the love of money can be obtained even though some say it was fake affection"   You refuse money as a good thing or not, hate wealth or not, hate the rich or not, or grateful poverty or pick-poverty as the path to heaven. You are responsible to pay for the good life.If you love yourself, you do not linger fight about something abstain from behavior that makes you a successful economic gills, not because we qualified us to be rich. But because we deserve employed. Many people do not deserve employed, because if it is close to stealing the money, if he knew the secret of the company was opened to others.  Get out of the relationship mistakes, understanding that money is not the devil, the devil, people who use the money to lie to each other.  Let us Live the family with good gifts, start small.Hopefully with all this, love yourself and life and no longer fight about money is important or not, the important thing is that we succeed as a person who finances a great life. 
A few of my article, hopefully useful to you and do not forget to comment and criticism. Thanks.