Abu Ubaidah bin al-Jarrah sedang berada di sebuah wilayah daerah Antokia
bersama pasukan perangnya. Sahabat kepercayaan Rasulullah saw ini
bersyukur karena tempat itu begitu nyaman dan menyenangkan bagi
pasukannya untuk beristirahat. Selain udaranya yang sejuk, tempat itu
pun ditumbuhi pepohonan rindang. Suasana itu membuat pasukannya betah
berlama-lama beristirahat di tempat tersebut. Sebagian mereka merebahkan
tubuhnya, menikmati semilir angin yang berhembus.
Melihat kondisi itu, Abu Ubaidah bin al-Jarrah tiba-tiba merasa gelisah.
Sesuai rencana ia memang ditempatkan di daerah subur itu oleh Khalifah
Umar bin Khaththab. Di satu sisi ia bersyukur dengan kondisi alamnya
yang demikian nyaman. Namun di sisi lain, ia tak mau terlena. Ia takut
tergelincir dalam kemewahan hidup dan melalaikannya dari perjuangan. Abu
Ubaidah bermaksud menebangi pohon-pohon di daerah itu. Sepucuk surat ia
layangkan ke Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah.
Surat itu pun segera dibalas oleh Umar seraya berkata, “Allah tidak
mengharamkan semua yang baik bagi orang-orang yang bertakwa dan berbuat
kebajikan. Bacalah surah al-Mukminun ayat 51 yang berbunyi, “Hai para
rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang
shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Umar lalu melanjutkan nasihatnya, “Seharusnya Anda memberikan kesempatan
kepada pasukan untuk beristirahat di daerah yang sejuk serta memberi
makan yang cukup agar mereka terbebas dari kecapekan karena memerangi
kaum kafir.”
Kisah yang disajikan ulang oleh Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Abqariyatu
Umar-nya ini menampakkan sisi lain dari kezuhudan Umar bin Khaththab.
Kalau dalam banyak riwayat kita menjumpai anjuran Umar agar kaum
Muslimin hidup sederhana dan “menghindari” kehidupan mewah, maka pada
kisah ini kita menemukan sisi berbeda. Umar memerintahkan agar Abu
Ubaidah bin al-Jarrah dan pasukannya menikmati keindahan alam Antokia
yang begitu menyenangkan.
Ini tentu saja bukan sikap tidak konsisten Umar. Pada kisah ini, Umar
tidak berbuat untuk dirinya tapi buat orang lain. Lagi pula, apa yang
dianjurkan Umar merupakan hal yang amat wajar dan dibenarkan syariat.
Adapun terhadap hal yang menyimpang, Umar sangat tegas.
Pada kesempatan lain, sebagian kaum Muslimin banyak yang melaksanakan
shalat di bawah Pohon Ridhwan. Yaitu, tempat dimana Rasulullah saw dan
para sahabatnya melaksanakan Baitur Ridhwan. Melihat hal itu, Umar
segera memerintahkan untuk menebang pohon tersebut meski sebagian
sahabat Nabi saw lainnya tidak setuju. Umar sangat khawatir, kalau hal
itu dibiarkan bisa membawa perilaku syirik.
Ini fragmen kisah yang berbeda. Umar benar-benar mengetahui perbedaan
keduanya dan bagaimana mengatasinya. Sikap ini penting diteladani
khususnya oleh para pejabat. Mereka harus bisa membedakan, mana yang
halal dan haram. Mana zuhud dan mana miskin.
Umar amat membenci kemiskinan tapi pada saat yang sama dia begitu zuhud.
Pada saat bersamaan, ia juga mempersilakan orang lain untuk menikmati
kesenangan sewajarnya.
Terdapat perbedaan yang jauh antara sikap hidup zuhud dengan miskin.
Allah dan Rasul-Nya amat membenci hidup miskin, tapi menganjurkan hidup
zuhud. Orang-orang yang hidup zuhud adalah mereka yang secara wajar
mampu menikmati kemewahan, tapi ia menghindar. Ia tidak mau mengambil
kenikmatan itu dan hanya menikmati yang sedikit saja. Sekadarnya. Tidak
berlebihan.
Sedangkan miskin adalah orang yang hidup susah dan tidak punya apa-apa.
Umar bin Khaththab dan para sahabat Rasulullah saw adalah mereka yang
hidup zuhud, bukan miskin. Sebab, kalau mereka mau, istana Persia sudah
berada dalam genggaman. Kekuasaan Islam saat itu sudah melebarkan
sayapnya ke segenap penjuru dengan segala kemewahannya.
Itu juga yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Bani Umayyah ini
hidup zuhud dan bukan miskin. Kalau mau, Umar bin Abdul Aziz bisa
mendapatkan segala kemewahan yang ia inginkan. Saat itu, ia menjabat
khalifah.
Para pejabat dituntut supaya bisa membedakan mana haknya dan mana hak
rakyat. Hudzaifah Ibnul Yaman pernah “menggerutu” karena Umar hanya
menyajikan makanan berupa roti kering dan minyak. Padahal saat itu di
dapur umum sedang dimasak makan enak. Umar menjawab, “Engkau kupanggil
untuk menikmati makananku. Sedangkan yang ada di dapur umum itu bukan
milikku, tapi kepunyaan kaum Muslimin.”
Bagi Umar, pejabat negara sama saja dengan rakyat jelata. Mereka harus
menjadi teladan bagi rakyatnya, hidup sederhana dan wajar sebagaimana
masyarakat kebanyakan. Umat tidak ingin melihat para pejabat negara,
baik yang berada di pusat maupun daerah, hidup berfoya-foya sedangkan
rakyatnya menderita.
Namun Umar juga tidak menyukai para pejabatnya hidup terlalu sederhana
sehingga muncul kesan tidak wajar. Umar pernah menegur salah seorang
pejabatnya di Yaman karena mengenakan pakaian mewah dan wewangian
berlebihan. Setahun kemudian Gubernur Yaman itu datang dengan pakaian
compang-camping. Umar langsung menegurnya, “Aku tidak mengharapmu
seperti ini. Demikian juga sebaliknya, aku tidak menyukaimu hidup
berlebihan. Aku mengharapkan gubernurku, hidup secara wajar, tidak hidup
penuh kenistaan tapi tidak juga bermegah-megahan. Kalian boleh makan,
minum, dan mengenakan mewangian. Dalam tugas kalian nanti, kalian akan
mengetahui apa yang aku benci.”
Umar memberikan keteladanan luar biasa kepada para pejabat bagaimana
menghadapi kemewahan dunia. Para pejabat harus mampu hidup moderat,
pertengahan. Ia hidup tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan.
Sikap hidup seperti ini perlu dilakukan karena pejabat adalah cermin
bagi rakyatnya. Diinginkan atau tidak, ia akan menjadi sorotan pubik.
Kalau kehidupan para pejabatnya foya-foya, akan muncul dua kemungkinan:
ia akan dibenci rakyatnya atau rakyat akan mengikuti sikap hidupnya.
Keduanya sama-sama tidak baik.
Sebaliknya, jika para pejabat hidup ternista, akan muncul juga dua
kemungkinan: rakyat akan menghinakannya atau mengikutinya hidup
ternista. Keduanya tidak ada yang baik. Maka, sikap hidup moderat dan
sewajarnya adalah pilhan tepat.
Pada haji terakhir yang dia laksanakan sebelum wafat, Umar mengajarkan
kita sebuah doa: Allahumma laa tuktsir lii minad dunya fa athgha, wa laa
tuqlil lii minha fa ansaa (Ya Allah, janganlah engkau perbanyak bagiku
duniaku sehingga membuatku melampaui batas. Tapi jangan juga Engkau
persedikit duniaku sehingga membuatku lupa).
by
http://www.kisahinspirasi.com